Seorang saleh dari Erzurum menderita penyakit kronis dan ganas. Hal itu terjadi setahun setelah Perang Dunia I berkobar. Aku pun pergi mengunjunginya dan ia mengeluh kepadaku seraya berkata, “Saudaraku, sejak seratus hari aku sama sekali belum merasakan lelapnya tidur”.
Keluhannya membuatku sedih. Akan tetapi, pada saat itu aku teringat dan berkata kepadanya, “Saudaraku, seratus hari yang telah berlalu, pada saat ini menjadi senilai seratus hari yang menyenangkan. Karena itu, jangan Anda mengingat dan mengeluhkannya. Tapi renungkanlah hari-hari tersebut dari sisi hilang dan lenyapnya, lalu bersyukurlah kepada Allah atas segala hal tersebut.
“Untuk hari-hari yang akan datang, karena semuanya belum lagi tiba, maka pasrahkan dan sandarkan dirimu kepada Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Jangan menangis sebelum dipukul. Jangan takut terhadap sesuatu yang tidak ada. Jangan pula mengada-ada. Fokuskan pikiran untuk saat ini saja, karena kekuatan sabar yang kau miliki cukup untuk saat ini.”
Jangan pernah meniru dan mengikuti jejak pemimpin dungu yang memecah kekuatan di markasnya ke kiri dan ke kanan. Padahal pada saat itu, kekuatan musuh yang berada di kiri bergerak ke sisi kanan yang belum lagi bersiap menyerang. Ketika musuh mengetahui hal ini, mereka segera menyerang kekuatan kecil yang ada di markas dan menghabisi mereka.
“Saudaraku, jangan seperti pemimpin di atas. Konsentrasikan semua kekuatan Anda untuk saat ini saja. Nantikan rahmat Allah yang masih luas dan renungkan pahala di akhirat. Renungkan transformasi yang dilakukan derita sakit Anda dengan menjadikan umur fana Anda yang pendek menjadi panjang. Karena itu, bersyukurlah kepada Allah sebagai ganti dari berbagai keluhan ini”.
Nasihat ini memberikan pencerahan kepada si sakit tersebut sehingga ia berkata, “Alhamdulillah, derita sakitku sudah banyak berkurang”.
Said Nursi, Al-Lama’at, hlm. 16-17
Pembahasan bersambung…