Tugas fitri manusia adalah menyempurnakan diri dengan “belajar”, yakni meningkatkan diri dengan jalan mencari ilmu dan pengetahuan. Serta, melaksanakan ubudiah dengan “doa”, yakni menyadari dan bertanya pada dirinya, “Lewat rahmat dan kasih sayang siapa diriku diatur dengan penuh hikmah? Lewat kemurahan siapa aku tumbuh dengan berhias kasih sayang? Dan, dengan kelembutan siapa aku mendapatkan nutrisi dalam bentuk demikian sempurna?”
Ia melihat bahwa tugas sebenarnya ialah berdoa, bersimpuh, meminta, dan berharap lewat lisan kepapaan dan ketidakberdayaan kepada Sang Pemberi segala kebutuhan guna memenuhi semua pinta dan hajatnya yang tak mampu diraih oleh tangannya. Hal ini berarti bahwa tugas utamanya adalah terbang dengan dua sayap “ketidakberdayaan dan kefakiran” menuju kedudukan ubudiah yang mulia.
Jadi, manusia dihadirkan ke alam ini untuk menyempurnakan diri lewat pengetahuan dan doa. Sebab, segala sesuatu bergantung pada pengetahuan sesuai dengan esensi dan potensi yang ada. Landasan, sumber, cahaya, dan roh semua ilmu yang hakiki adalah makrifatullah (mengenal Allah) sebagaimana inti dari landasan tersebut adalah iman kepada Allah.
Karena manusia akan menghadapi berbagai jenis ujian, musibah, dan serangan musuh yang jumlahnya tak terhingga sedang ia sama sekali tak berdaya. Ia juga memiliki banyak permintaan dan kebutuhan sementara kondisinya sangat papa, maka tugas fitrinya setelah beriman adalah berdoa. Doa merupakan inti ibadah.
Sebagaimana anak kecil yang tak mampu mewujudkan impiannya atau merealisasikan keinginannya hanya bisa menangis dan meratap, yakni meminta dengan lisan kelemahannya entah dalam bentuk ucapan ataupun perbuatan hingga maksudnya tercapai. Demikian pula dengan manusia yang merupakan makhluk hidup paling halus, paling lemah, dan paling fakir. Ia laksana anak kecil yang lemah.
Karena itu, ia harus berlindung di haribaan Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang serta bersimpuh di hadapan-Nya entah dengan menangis seraya menunjukkan kelemahannya, atau berdoa lewat kefakirannya hingga keinginannya terpenuhi. Ketika itulah, ia menunaikan syukur atas pertolongan, pengabulan, dan penundukan Tuhan.
Namun jika manusia berkata dengan angkuh seperti anak kecil yang dungu, “Aku mampu menundukkan segalanya dan mengendalikannya dengan pemikiran dan pengaturanku,” padahal hal itu jauh di luar batas kemampuannya, maka semua itu tidak lain merupakan sikap kufur terhadap nikmat Allah, pembangkangan besar yang bertentangan dengan fitrahnya, serta menjadi sebab yang menjadikannya layak mendapat siksa.
Said Nursi, Iman Kunci Kesempurnaan, hlm. 14-15.
Pembahasan berlanjut..