Sesungguhnya musibah dan bencana yang hakiki dan dianggap sangat berbahaya adalah yang menyerang agama. Apabila kondisi tersebut yang terjadi, maka manusia harus segera berlindung kepada Allah dan bersimpuh di hadapan-Nya.
Adapun musibah yang tidak menyerang agama, pada hakikatnya bukanlah musibah.
Sebab, musibah jenis ini memiliki beberapa makna: Pertama, ia sebagai peringatan (teguran penuh kasih) yang Allah tujukan kepada hamba-Nya yang lalai. Ia sama seperti peringatan seorang penggembala kepada kambing gembalaannya ketika melewati batas penggembalaan dengan melemeparkan bebatuan. Sehingga kambing tersebut menyadari bahwa penggembalanya memberikan peringatan untuk menghindari perkara yang berbahaya dengan lemparan batu, dan akhirnya kembali masuk ke daerah penggembalaannya dengan ridha dan perasaan tenang.
Demikian halnya dengan musibah, sesungguhnya sebagian besar dari musibah itu sendiri adalah peringatan Ilahi dan teguran penuh kasih untuk manusia.
Kedua, musibah sebagai penebus dosa.
Ketiga, musibah sebagai anugerah ilahi untuk memberikan ketenangan kepada manusia dengan cara membendung kelalaian, serta memberitahukan ketidakberdayaan dan kefakirannya yang tertanam dalam fitrahnya.
Adapun musibah yang diderita oleh manusia saat sakit—sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya sudah dapat dipastikan bahwa ia bukanlah musibah yang sesungguhnya, akan tetapi kelembutan rabbani karena ia membebaskan manusia dari dosa dan kesalahan. Sebagaimana telah diriwayatkan dalam sebuah hadis sahih:
مَا مِنْ مُسْلِمٍ يُصِيبُهُ أَذًى إِلاَّ حَاتَّ اللَّهُ عَنْهُ خَطَايَاهُ كَمَا تَحَاتُّ وَرَقُ الشَّجَرِ
“Tidaklah seorang muslim ditimpa musibah, melainkan Allah SWT. menggugurkan kesalahan-kesalahannya (menghapus dosa-dosanya) seperti halnya dedaunan pohon yang berguguran.
Said Nursi, Al-Lama’ât, hlm. 17-18
Pembahasan bersambung…