Dalam munajat Nabi Ayyub Alaihi Salam, beliau tidak berdoa untuk kenyamanan dirinya. Akan tetapi, ia memohon kesembuhan kepada Allah ta’ala ketika penyakit telah menghalangi lisannya untuk berzikir dan kalbunya untuk bertafakkur. Ia memohon kesembuhan agar bisa melakukan tugas-tugas ubudiyah dengan penuh ketulusan.
Oleh karena itu, sudah seharusnya hal pertama yang menjadi tujuan kita dalam bermunajat adalah niat mengharapkan kesembuhan atas luka-luka rohani kita dan penyakit-penyakit batin akibat melakukan dosa. Dan kita juga harus memohon perlindungan kepada Allah Yang Mahakuasa ketika penyakit fisik yang kita derita menghalangi kita untuk beribadah. Saat itu kita berlindung dengan merendahkan diri dan memohon pertolongan-Nya tanpa mengeluh dan memprotes. Karena jika kita ridha akan sifat ketuhanan-Nya (Rububiyah-Nya) yang menyeluruh, maka selama itu pula kita harus ridha dan menerima dengan total apa yang diberikan-Nya kepada kita melalui sifat rububiyah-Nya.
Adapun keluhan yang mengisyaratkan penolakan dan keberatan atas qadha dan qadar-Nya, ia persis seperti mengkritik ketentuan Ilahi yang adil dan meragukan rahmat-Nya yang amat luas. Dan siapa pun yang mengkritik takdir-Nya akan terkapar oleh takdir itu sendiri, dan yang meragukan rahmat Allah akan terhalang dari rahmat itu. Sebab, sebagaimana menggunakan tangan yang patah untuk membalas dendam akan memperparah kondisinya, demikian pula menghadapi musibah dengan keluh kesah, kerisauan, kritikan, dan kegelisahan akan melipatgandakan musibah tersebut.
Said Nursi, Al-Lama’ât, hlm. 18-19
Pembahasan bersambung…