Manusia yang mengandalkan egonya lalu jatuh ke dalam jaring gelapnya kelalaian dan rantai kesesatan laksana kondisiku yang pertama dalam peristiwa imajiner di atas di mana masa lalu—lewat cahaya redup yang berupa pengetahuan yang penuh kesesatan—tampak seperti pekuburan besar dalam gelapnya ketiadaan. Lalu ia menggambarkan masa depan seperti sesuatu yang seram berhias sejumlah kesulitan seraya menyandarkannya pada proses kebetulan yang buta. Ia juga menggambarkan semua kejadian dan entitas yang sebetulnya merupakan pesuruh yang tunduk kepada Dzat Yang Mahabijak dan Maha Pengasih laksana binatang buas yang berbahaya. Kondisi yang dialaminya seperti bunyi ayat al-Qur’an:
وَالَّذِينَ كَفَرُوا أَوْلِيَاؤُهُمُ الطَّاغُوتُ يُخْرِجُونَهُمْ مِنَ النُّورِ إِلَى الظُّلُمَاتِ….
“Orang-orang kafir, wali mereka adalah thaghut. Thaghut mengeluarkan mereka dari cahaya menuju kegelapan”. (QS. al-Baqarah [2]: 257)
Namun jika manusia mendapat petunjuk Ilahi, sehingga iman masuk ke dalam kalbu, lalu sifat fir’aunisme hancur lebur, kemudian mau mendengar kitabullah, maka ia laksana kondisiku yang kedua dalam peristiwa imajiner di atas. Seluruh alam berubah menjadi siang dan diliputi oleh cahaya ilahi. Semua mengucap ayat:
اللَّهُ نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۚ ….
“Allah (sumber) cahaya langit dan bumi”. (QS. an-Nûr [24]: 35)
Masa lalu bukanlah pekuburan besar seperti yang disangka. Namun, setiap masanya seperti yang disaksikan oleh penglihatan kalbu, penuh dengan sejumlah jamaah yang mengerjakan tugas ubudiah di bawah kendali Nabi utusan atau sekelompok wali yang saleh yang mengatur dan menyebarkan tugas mulia itu, serta mengokohkan rukun-rukunnya di tengah-tengah umat secara sempurna. Setelah jamaah itu menyelesaikan berbagai tugas kehidupan dan kewajiban fitrinya, mereka terbang menuju kedudukan yang tinggi seraya mengucap, “Allâhu Akbar” dengan menembus tirai masa depan.
Ketika menoleh ke sisi kiri lewat teropong iman, tampak dari kejauhan bahwa di balik berbagai kejadian alam barzakh dan akhirat terdapat sejumlah istana kebahagiaan. Di dalamnya terhampar berbagai jamuan Tuhan yang sangat luas. Ia mengetahui bahwa setiap hal yang terjadi di alam ini—seperti topan, gempa, wabah penyakit, dan sejenisnya— merupakan suruhan yang dikendalikan. Maka, angin yang bertiup di musim semi serta hujan dan sejenisnya yang tampak memilukan sebenarnya penuh dengan hikmah tersembunyi. Bahkan kematian tampak sebagai pendahuluan bagi kehidupan abadi, serta kubur laksana pintu menuju kebahagiaan yang kekal. Engkau bisa menganalogikan aspek lainnya dengan cara seperti di atas; mencocokkan kenyataan dengan contoh yang ada.
Said Nursi, Iman Kunci Kesempurnaan, hlm. 8-10
Pembahasan berlanjut…