Hubungan antara Islam dan Nasionalisme merupakan topik krusial yang selalu memantik pro-kontra serta perdebatan sengit karena menyangkut kepentingan politik yang sangat dasar yakni penentuan landasan ideologi suatu negara. Di dalam proses itu, kontestasi-kontestasi politik, ideologis dan intelektual yang melibatkan kelompok-kelompok pendukung ideologi berbasis agama di satu sisi dan pendukung ideologi nasionalisme di sisi lain, menjadikan masalah hubungan Islam dan Nasionalisme selalu menarik untuk dikaji. Mengenai bagaimana suatu negara menyelesaikan kontroversi di seputar hubungan antara Islam dan Nasionalisme, masing-masing negara memiliki pengalaman yang berbeda antara satu negara dengan negara yang lain.
Bertolak dari fakta di atas, International Webinar on “Islam and Nationalism: Strengthening National Values and Its Challenges in Turkey, Malaysia and Indonesia”, yang dilaksanakan pada Senin, 21 September 2020, merupakan upaya akademik untuk mengkaji berbagai perspektif yang ada mengenai hubungan Islam dan Nasionalisme yang timbul dan berkembang di tiga negara berpenduduk mayoritas Muslim tersebut. Untuk itu kami menghadirkan pembicara dari masing-masing negara tersebut: Dr. Abdullah Eker dari Turkey, Prof. Madya Dr. Zaidin bin Mat Muhammad dari Malaysia, dan Dr. H. Imam Bonjol Jauhari, M.Ag. dari Indonesia.
Dr. Abdulllah Eker, profesor pada Kilis 7 Aralik University Turkey, memaparkan topik “Nationalism in Islam and Types of Nationalism: From the Viewpoint of Imam Said Nursi”. Sebagai pakar di bidang Psikologi Pendidikan dan Sosiologi, Abdullah Eker menggunakan sains modern dalam mendekati pandangan Said Nursi tentang relasi Islam dan Nasionalisme. Menurut Abdullah Eker, Said Nursi membagi Nasionalisme menjadi dua, yaitu Nasionalisme positif dan Nasionalisme negatif. Jika ideologi Nasionalisme yang dianut suatu negara bangsa bersifat positif, demikian menurut Nursi, maka ia tidak bisa dipertentangkan dengan Islam.
Dalam perspektif Nursi, Nasionalisme negatif adalah representasi dari nilai-nilai yang destruktif, seperti rasialisme, permusuhan dan kebencian kepada sesama atas dasar rasa superior suatu ras atas ras yang lain atau etnis atau agama tertentu, rasa patriotisme yang eksesif dan extrim. Nilai-nilai itu merupakan wujud dari Nasionalisme negatif yang bisa menghancurkan nilai-nilai kemanuiaan serta merusak harmoni dan solidaritas antara umat manusia. Pada sisi inilah, Nasionalisme negatif bertolak belakang dengan Islam. Pemikiran Nursi tentang Nasionalisme ini menjadi salah satu inspirasi bagi keutuhan negara Turkey modern.
Nasionalisme memiliki posisi penting dalam suatu negara-bangsa, maka dari itu Nursni mengibaratkan ideoloigi ini dengan “urat nadi” (vein) yang menyalurkan darah ke seluruh tubuh. Namun demikian, Nursi mengingatkan, bahwa Nasionalisme positif tetap beradar di bawah kepentingan dan loyalitas kepada Islam. Dengan demikian ide-ide dasar dalam Nasionalisme positif dimaksudkan sebagai ideologi yang melayani tujuan-tujuan religius Islam, yang menjunjung tinggi keadilan bagi seluruh umat manusia terlepas dari ras, latar belakang etnis dan status sosial mereka.
Selanjutnya, Dr. Mohamad Zaidin bin Mat Muhammad, profesor pada Universitas Sultan Zainal Abidin, Trengganu Darul Iman, Malaysia, memaparkan topik tentang relevansi pemikiran Said Nursi tentang Nasionalisme dengan dinamika kontestasi antara Islam dan Nasionalime yang mewarnai jagat politik Malaysia. Dr. Zaidin melihat bahwa keputusan politik para pendiri Kerajaan Malyasia untuk menjadi Islam sebagai dasar ideologi negara yang meraih kemerdekaannya pada 31 Agustus 1957, adalah keputusan yang tepat bagi suatu negara bangsa yang berpenduduk mayoritas Muslim.
Pada tataran normatif-idealistik, dan dilihat dari sudut pandang Said Nursi, penetapan Islam sebagai dasar ideologi bagi Malaysia adalah langkah yang ideal karena Islam itu sendiri adalah sumber dari nilai-nilai: persatuan (antara umat manusia atas dasar keagamaan dan kebangsaan), dialog (melalui sistem pendidikan yang menekankan pada etika dan adab), serta wasathiyah (sikap moderasi untuk menerima hal-hal yang baik dan positif dan menolak hal-hal yang negatif dan destruktif).
Namun demikian, pada level politik praktis, penerimaan Islam sebagai dasar ideologi Malaysia tidak serta merta berarti tidak menyisakan masalah yang konfliktual terutama berkenaan dengan kebijakan Kerajaan ketika menyangkut kepentingan kelompok-kelompok masyarakat minoritas. Pada sisi ini Malaysia telah membuktikan bahwa ketika perinsip-perinsip keadilan dan dialog telah mengantarkan negara ini pada kehidupan politik yang dinamis dan stabil, bahkan mampu mewujudkan kesejahteraan sosial yang merata di antara kelompok-kelompok masyarakat mayoritas dan minoritas.
Pada sesi terakhir Webinar, Dr.Imam Bonjol Jauhari, Wakil Dekan FUAH, mengelaborasi secara gamblang relasi Islam dan Nasionalisme dalam konteks Indonesia. Bertolak dari pembahasan tentang apa yang terjadi pada masa-masa awal setelah Indonesia meraih kemerdekaannya (17 Agustus 1945), Dr. Imama Bonjol menggambarkan proses negosiasi yang alot mengenai dasar ideologi negara yang baru berdiri. Deliberasi dan negosiasi berlansung sengit dan menegangkan di antara para pendiri bangsa Indonesia yang terdiri dari para pendukung ideologi Islam di satu sisi dan pendukung ideologi Nasionalisme di sisi lain.
Proses negosiasi ini pada akhirnya melahirkan suatu platform kebangsaan yang diyakini bisa mengakodasi cita-cita ideal dari dua kelompok tersebut yang terpatri di dalam apa yang kita kenal sebagai Pancasila. Dengan Pancasila sebagai dasar ideologi negara, Indonesia tidak bisa dikatakan sebagai suatu negara murni nasionalis (secular) an sich atau religius in toto. Sifat akomodatif dan inklusif yang tercermin di dalam keseluruhan poin-poin Pancasila, menjadikan Indonesia sebagai “neither religious, nor secular” (tidak religius dan tidak sekuler).
Bagi Dr. Imam Bonjol, Pancasila sudah final sebagai dasar ideologi Indonesia, maka upaya-upaya untuk kembali mempersoalkan posisi dasar ideologi itu justru akan mengancam persatuan dan kesatuan bangsa. Tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini bukan persoalan dasar ideologi, tetapi bagaimana agar nilai-nilai ideal Pancasila diimplementasikan dalam kehidupan bangsa secara kongkrit sehingga tercipta keadilan dan kesejahtaraan bagi segenap bangsa terlepas dari latar belakang ras, agama, etnis, dan geografis mereka.
*Catatan webinar